HEADLINE NEWS

Kategori

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

STOP KEKERASAN PADA JURNALIS WANITA

Dunia media cetak maupun online, kini kian diramaikan oleh para wanita yang enerjik, berani dan kreatif. 

Mereka tidak kalah dengan para jurnalis pria. Kadang malah lebih tangguh dan lebih ulet untuk menembus sumber berita.

Siapa nyana disaat menjalankan tugas, para jurnalis wanita itu menghadapi banyak tantangan. Selain harus bersaing dengan sesama jurnalis; pria maupun wanita, mereka juga rentan dengan kekerasan.

@america, Pusat Kebudayaan Amerika, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Rabu, 24 November 2021, mengadakan Live Streaming Presentation dengan tema Ending Violence againts Women Journalists, dengan pembicara para jurnalis wanita dari Indonesia juga dari Pakistan. Acara  yang diselenggarakan secara online tersebut juga dihadiri oleh majalahwanita.com.

Berikut liputannya.

Bercanda yang menjurus

Suasana acara Live Streaming Presentation
Anda penikmat berita secara print ataupun online, mungkin tidak pernah mengira bagaimana seorang jurnalis-- terutama wanita-- harus berjuang untuk mendapatkan berita.

Namun karena dunia jurnalistik memang penuh tantangan dan persaingan, mereka yang menjadi jurnalis umumnya wanita-wanita tangguh. Apa pun tantangannya mereka hadapi, demi mendapatkan berita atau menembus sumber berita yang ditargetkan.

Dalam setiap langkah mereka saat menjalankan tugas, ternyata para wanita tangguh itu tidak hanya harus bersaing, tapi juga harus menghadapi ancaman kekerasan.

Seperti diungkapkan oleh Nani Afrida, salah satu pemberi materi dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen), bahwa kekerasan yang paling banyak diterima oleh para jurnalis atau wartawan wanita, saat menjalankan tugas adalah kekerasan berupa ancaman juga pelecehan seksual.

“Tidak hanya saat berada di luar kantor, tapi juga saat berada di dalam kantor,” ungkap Nani.

Ucapan yang menjurus pada  pelecehan seksual sering diterima para jurnalis wanita dari rekan kerja pria ataupun respondennya. Kalau mereka protes, biasanya para pria itu berdalih bahwa mereka hanya bercanda. “Bercanda yang menjurus pada pelecehan seksual umum terjadi di dunia media, yang masih mayoritas ditempati pria. Dan itu harus dihentikan,” tegas Nani.

Tidak hanya terjadi di Indonesia, menurut Ayesha Tanzeem, pembicara yang seorang jurnalis dari Pakistan, di negaranya hal itu juga umum terjadi. “Bahkan kekerasan seksual pada jurnalis wanita di sini, menurut data terjadi dua peristiwa setiap harinya,” ungkap Kepala VOA biro Afganistan dan Pakistan ini.

Bagaimana menghentikannya?

Sebagian dari peserta acara 
Begitu rentannya jurnalis wanita pada ancaman kekerasan, memang tidak bisa dibiarkan. Menurut pembicara lain, Ratna Ariyanti, dosen di Universitas Multimedia Nusantara, untuk mencegah terjadi kekerasan pada jurnalis wanita saat bertugas, harus ada pencegahan yang nyata.

Ratna antara lain menyarankan untuk menyebarkan solidaritas diantara jurnalis wanita. Jadi saling membantu saat mereka menghadapi ancaman atau perlakuan kekerasan. Selain itu, juga harus sesering mungkin diadakan training yang berkaitan tentang kekerasan pada jurnalis wanita.

“Harus ada kesadaran dari para jurnalis wanita tentang apa itu yang disebut dengan kekerasan di dunia kerja mereka. Dengan demikian mereka lebih waspada dan lebih memahami bagaimana cara menghadapinya,” tambah Ratna.

Ditambahkan oleh Nani bahwa AJI sendiri sudah menetapkan kebijakan di dalam organisasi, bahwa kekerasan seksual adalah kekerasan yang amat serius untuk para anggota AJI.

Ayesha Tanzeem menambahkan, tugas semua pihak: individu, organisasi hingga negara untuk menghentikan kekerasan pada jurnalis wanita. Para wanita juga harus membantu untuk menghentikan tindakan yang amat merugikan ini. Tidak boleh diam atau menyembunyikan ketika mengalami pelecehan ataupun kekerasan dalam menjalankan tugas.

Yeyen Rostiyani, selaku moderator dalam acara ini, menambahkan bahwa di newsroom kekerasan juga sering terjadi. Mirisnya, kadang tanpa disadari oleh si korban. Misalnya, editor pria berterika-teriak saat memberi pengarahan atau menegur seorang jurnalis wanita.   

“Kalau editor pria yang bersikap demikian sering dianggap sebagai  atasan yang tegas. Tapi kalau editornya wanita, langsung dibilang sedang PMS atau temperamental,” demikian jelas International Desk Editor di Republika ini.

Dan ada hal lain yang sering tidak disadari oleh para jurnalis wanita, perbedaan dalam pemberian gaji antara jurnalis wanita dan pria, juga sebuah bentuk dari kekerasan dalam dunia kerja.

Dengan adanya streaming presentation ini, wanita-wanita jurnalis Indonesia jadi makin menyadari bahwa ancaman kekerasan ada di sekitar mereka. Dan semua itu harus dihentikan. Antara lain dengan memiliki pemahaman yang tepat tentang bentuk dari kekerasan, serta bagaimana menghadapi serta kemana harus mengadu ketika mengalaminya.***MH


#jurnaliswanita

#kekerasanjurnaliswanita

#kekerasanduniakerja

#hentikankekerasan

#duniajurnalistik

#media

#jurnalis

#wanita

Previous
« Prev Post

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *