HEADLINE NEWS

Kategori

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Blooming


Jaden selalu tahu apa yang kumau tanpa harus kukatakan. Mungkinkah dia punya indra keenam?     

Sudah beberapa kali tetap saja gagal. Hmm, tak butuh waktu lama, rasanya aku tahu penyebabnya.
    “Jad, ganti lagi ya?” tanyaku, mirip menuduh.
    Jaden melirikku, sangat di ekor matanya. Sedetik kemudian terbitlah senyum kecilnya,”Pourover.”
    Yang aku suka dari Jaden, ia sangat tahu apa yang kupikirkan, tanpa harus kukatakan. Entah karena kami terlalu sering bersama, atau ia sesungguhnya punya indera keenam. Dari hal kecil sampai hal yang serius, sering sekali Jaden berhasil menebak apa yang memenuhi kepalaku. Seperti yang barusan, password wifi.

Dulu aku enggan berdekatan dengan Jaden. Selain tak banyak bicara, sangat pelit senyum. Jaden juga bukan tipikal laki-laki yang suka tebar pesona, cenderung kaku malah. Tapi secara tampang, bolehlah. Body juga balance. Soal penampilan, simple rapi. Lebih sering mengenakan jeans dan kaos hitam. Ada tattoo di lengannya, yang kadang sedikit kelihatan kalau lengan kaosnya agak lebih pendek.

Suatu ketika jariku menggeser layar di gawaiku. Deretan foto-foto apik segera terpajang setelah aku membuka aplikasi Instagram dan mengetik tagar coffeeshots. Kunikmati foto-foto keren yang berkaitan dengan kopi. Banyak sekali sampai beberapa kali aku menandai foto-foto yang kusuka itu berasal dari satu akun, @brewcoffee. Rasa penasaran semakin memuncak karena foto-foto itu tidak pasaran, dari cara pengambilan foto maupun obyek dan caption yang ditulis di situ. Angle-nya tidak sekedar dari atas, seperti kebanyakan foto kopi yang memperlihatkan latte art yang dihasilkan. Tapi angle-nya mampu sangat pintar untuk menunjukkan bagian apa yang ingin ditonjolkan. Kadang Extreme Close Up dan detil. Begitu pula obyek yang diambil, tak hanya deretan cangkir kopi atau biji kopi, tapi juga peralatan berikut momen prosesnya.

Foto-foto itu terasa lengkap dengan tulisan yang menarik perhatianku.  Bukan tulisan panjang tapi pas dengan ulasan yang lebih filosofis, bisa menjadi kalimat motivasi juga.

Aku peminum kopi sejak lama. Ada sebuah rasa yang menyusup ke dalam batinku jika membayangkan perjalanan biji-biji kopi itu dari para petani kopi dari Aceh sampai Papua yang hidup dari menanam, memetik, menjemur biji kopi-biji kopi itu sampai menjadi minuman dalam cangkir di kedai kopi yang modern. Biji kopi itu akan dipanggang oleh roaster dan akhirnya diracik oleh para barista. Semua dikerjakan dengan presisi oleh masing-masing pelakunya dengan jiwa, sehingga menghasilkan karakter rasa kopi yang sempurna.

Setelah aku merasa jatuh hati pada foto-foto ini, maka seperti seorang gadis usia 20-an yang dimabuk cinta, aku mencari kedai kopi yang sebenarnya lokasinya tak terlalu jauh dari apartemenku yang belum lama kuhuni sejak aku pindah ke bilangan Jakarta Barat.

Sejak itu, Brew Coffee seperti rumah keduaku. Sudah tak terhitung berapa kali aku mendatangi kedai kopi yang bergaya simple comfort itu. Tak terlalu luas, namun mereka lihai dalam tata letaknya sehingga terasa tak sempit bahkan bisa membuat betah. Biasanya aku akan datang di pagi hari, dan berakhir di sore hari. Begitu terus. Dua sampai tiga cangkir black coffee kuhabiskan di sana, berikut makan siang. Cukup lama untuk ukuran kunjungan ke kedai kopi, tapi aku memang sangat menikmati kenyamananku di sana untuk bekerja. Profesiku sebagai pekerja lepas bidang desain sekaligus pembuat motif batik untuk pabrik batik milik Mama warisan turun menurun keluarga Suryo-leluhur Mama-, memungkinkan aku berlama-lama di sana, apalagi didukung dengan fasilitas wifi yang biasanya memang setiap kedai kopi menyediakannya. 
    “Motif baru lagi?” Tiba-tiba Jaden sudah melongok ke layar Macbook Air-ku.
    “Kemarin Mama sudah nanyain lagi,” kataku sambil memamerkan gigiku,”Bu Lastri baru datang dari desanya setelah ‘mantu’ anaknya.”
    “Kalau foto ini bagus nggak menurutmu?” Jaden menyodorkan foto di gawainya.
    Aku mengamati beberapa saat dan sok manggut-manggut. Tingkahku ini membuat Jaden kesal, pura-pura. “Apaan sih… manggut-manggut segala. Tua tauuu…!”
    Tertawaku lepas, aku suka menggodanya. Jaden membekap mulutku dengan tangannya.
    “Eh foto hasil kopi yang kamu grinding kemarin, di-likes lagi sama Keira di Insta. Cieee…. Di Facebook malah ada hati dan komennya lhoh… Keira nggak pernah melewatkan begitu saja satu pun foto yang kamu unggah.” Makin menjadi aku menggoda Jaden, setelah bekapan tangannya dilepas.

Wajah Jaden sempat sedikit bersemu merah tapi tak lama. Matanya membesar, mulutnya mengerucut. Ia berusaha membekap mulutku lagi sebenarnya, tapi niatnya diurungkan karena tiba-tiba sekelompok gadis memasuki Brew Coffee dengan riuhnya. Mereka segera menempati sofa yang letaknya di sudut, namun strategis sebagai lokasi berswafoto. Iya, meskipun simple tapi Brew Coffee ini tetap Instagramable. Jaden beringsut untuk menunaikan tugasnya sebagai Barista, Chief Barista tepatnya.

Tak heran Jaden menjadi Chief Barista di sini, karena kepiawaiannya dalam meracik kopi tak perlu diragukan lagi. Jam terbangnya sebagai barista seolah ia dapatkan sejak lahir. Laki-laki berasal dari Surabaya itu sangat cakap memadukan biji-biji kopi, air, dengan proses yang dilakukannya. Tak hanya ia sangat tahu bagaimana membuat biji kopi itu sedap disajikan dengan proses racikan tangannya, tapi Jaden juga mempelajari biji kopi.

Ia pernah sebulan magang di perkebunan kopi di Gunung Puntang, Jawa Barat. Begitu tangannya memroses dan meracik kopi dengan metode manual brew, aku akan melihat Jaden benar-benar ‘hidup’. Serasa seluruh energi yang ada dari dalam dirinya, memancar keluar, berbinar. Ada dua orang yang aku lihat bisa seperti itu, Jaden dan Bu Lastri. Begitu Bu Lastri menggenggam canting dan jemarinya menari di atas kain mori putih untuk mengikuti pola batik tulis yang kubuat,  maka aku melihat keindahan jiwa, cinta dan pengabdiannya sangat dalam  pada warisan budaya bangsa itu.

Sebenarnya aku hanya penikmat kopi yang dulu tak terlalu peduli dengan prosesnya. Black coffee tanpa gula, itu pesanan wajibku. Terserah mau dibuat dengan metode apa. Namun sejak aku mengenal Jaden, laki-laki itu justru yang selalu ribut dan repot menyajikan kopi yang enak untukku. Seringkali aku juga menjadi korban dari uji coba – uji coba racikannya. Anehnya, aku menurut saja, meski tak jarang aku ngomel juga. 
    “Gadis berkacamata berambut panjang itu dari tadi memperhatikanmu, curi-curi pandang terus ke kamu, Jad,” aku berkata sambil mataku tetap menatap layar laptop-ku ketika Jaden sudah beberapa saat duduk di dekatku lagi.    
    Jaden tertawa kecil, lalu,”Jadi kamu cemburu? Sama cemburunya kamu ke Keira?”
    “Hah? Apa?” Aku pura-pura terkejut, sedetik kemudian tergelaklah aku, “Nggak usah mulai lagi deh, Jad. Memang ada lagi yang kamu belum tahu dari aku ?!”
    Ia tersenyum penuh kemenangan. Usil sekali wajahnya.
  
Tak ada yang Jaden tak tahu tentangku. Entah siapa yang mulai duluan, akhirnya kami bisa menjadi akrab satu sama lain. Lalu cerita-cerita kami mengalir begitu saja, saling berbagi. Masa kecil Jaden yang hanya berdua dengan Mamanya karena Papanya meninggal saat Jaden berusia 8 tahun. Kisah perjuangan Jaden dari titik nol sampai menjadi Jaden yang sekarang, juga sudah kutahu. Jaden hanya pernah sekali jatuh cinta, namun kisah cintanya hanya seumur jagung muda karena Dee –nama wanita itu- tak merasa secure dengan profesi Jaden. Dee yang anak pengusaha terkenal itu, akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Jaden.

 Rasanya tak ada yang Jaden tak tahu dari kisah hidupku. Tentang aku yang takut dan tak mau jatuh cinta lagi, Jaden sangat tahu, termasuk betapa terpukulnya aku dengan dua kejadian yang membuat aku mengambil keputusan itu. Hiro yang meninggal tepat sebelum kami bertunangan waktu itu karena mobilnya didorong oleh truk beroda delapan pengangkut pasir di tol lingkar luar. Cintaku begitu dalam padanya karena kami menjalinnya selama hampir 5 tahun. Aku pikir hatiku akan terjaga oleh Dion di episode berikutnya, setelah aku mampu mengatasi rasa sedihku kehilangan Hiro yang memakan waktu cukup lama. Namun ternyata hatiku menjadi sangat sakit karena Dion meninggalkanku begitu saja untuk menikahi Dewi, orang ketiga di antara kami. Masih banyak cerita-cerita di antara kami berdua yang membuat aku dan Jaden seperti ‘tumbu entuk tutup’.*
    “Ayolah, Jad… jangan kecewakan Keira. Gadis itu suka sekali padamu, follower sejati yang fanatik. Kamu lihat sendiri kan, setiap unggahanmu selalu mendapatkan likes, love dan komentarnya yang mengagumimu.”
    “Hahaaa…. Bukannya dulu kamu juga suka stalking aku…”
    “Eeeehh, apanya yang bisa aku stalking dari kamu?! Okeee-okeee, aku memang suka  unggahanmu, tapi tak satupun ada fotomu kan di Insta Brew Coffee…” Kujulurkan lidahku mengejeknya, membuat Jaden tertawa.

Jadilah sore itu Jaden mulai lagi menasihati aku dengan kata-kata bijaknya setelah topik beralih dari gadis pengunjung Brew Coffee yang manis itu, ke Keira dan akhirnya sasaran tembak Jaden mengarah ke aku. Aku duduk pasrah meski tak manis, mendengarkan apa katanya. Mungkin yang membuat aku mau mendengarkannya adalah caranya bicara tak seperti sedang menggurui tapi hanya seperti obrolan biasa saja namun memang memiliki muatan.
    “Jangan melawan kalau suatu saat ternyata kamu bisa jatuh cinta lagi, Vi. Kan kita nggak pernah tahu, apa yang Tuhan rencanakan dalam hidup kita. Kalau Tuhan izinkan kita mengalami kejadian-kejadian yang berat, itu artinya Tuhan tahu kita pasti kuat melewatinya.”
    “Rasanya aku nggak siap terluka lagi, Jad. Aku pernah mengalaminya, nggak hanya sekali, dan sakit sekali.” Tertunduk aku, tak berani memandangnya.
     Jaden menepuk pipiku sekilas. “Livi… The heart’s affections are divided like the branches of the cedar tree; if the tree loses one strong branch; it will suffer but it does not die; it will pour all its vitality into the next branch so that it will grow and fill the empty place.” **
    Aku terdiam. Makin menunduk karena Jaden masih memandangiku. Kenapa aku jadi mati gaya begini?
    “Jatuh cinta itu bukan sesuatu yang salah, Vi. Kalau suatu saat ternyata cinta itu datang lagi padamu, apa kamu akan bersusah payah menghindari bahkan mengingkarinya? Lebih parahnya, kamu berusaha membunuh perasaan itu.”

Beberapa kali aku memang selalu menghindari setiap ada laki-laki yang memberi perhatian lebih padaku. Aku tak memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk membiarkan mereka masuk ke dalam kehidupanku. Jujur, aku lebih takut dengan perasaanku sendiri. Selama ini aku selalu menjaga jarak aman dengan siapapun, kecuali Jaden. Aku percaya padanya karena saat ini memang hanya Jaden orang yang paling dekat denganku,  dan sudah tahu segala-galanya tentang aku. Aku tak mau hatiku sakit lagi ketika aku harus kehilangan orang yang kucintai. Sebelum ada percik cinta yang tiba-tiba muncul tanpa terduga, lebih baik aku membangun benteng kokoh terlebih dahulu.
Melihat aku masih saja bisu, Jaden menarik tanganku untuk mengikutinya menuju meja tempat biasa ia meracik kopi. Diambilnya perlengkapan kopi yang disebut V60. Perlahan ia mulai dengan menggrinding biji kopi Papua Wamena yang sudah ditimbangnya tadi. 20 gram.

 Tanpa membantah, aku tetap berdiri di sampingnya sementara kubiarkan Jaden terus melanjutkan kegiatannya membuat kopi teknik Pour Over ini. Barusaja ia menuangkan air panas ke paper filter yang sudah diletakkan di dalam coffee dripper berbentuk huruf V ini. Di bawahnya diletakkan cangkir. Air panas yang tadi dituang dari ketel berleher panjang dan kecil itu dibuang setelah paper filter basah semua. Dengan cekatan Jaden memasukkan kopi yang sudah digrinding itu ke dalam coffee dripper itu. Digoyangnya pelan sehingga permukaan bubuk kopi itu rata.
    “Perhatikan baik-baik tahap ini, Vi. Namanya Blooming.” Ia menyentuh tombol digital di bawah  teko kaca.
    Jaden menuangkan air melalui ketel berleher panjang itu perlahan ke arah bubuk kopi di dalam coffee dripper itu. Melingkar dan perlahan, konsisten.
    “Blooming ini penting dalam pembuatan kopi manual brew V60 ini. Blooming adalah fase ekstraksi yang terjadi pada saat air melakukan kontak dengan bubuk kopi. Berguna untuk mengeluarkan gas karbondioksida dari dalam biji kopi saat disangrai yang dapat menahan air bisa masuk dan melarutkan kopi. Coffee blooming ini membuat aroma dan rasa kopi makin kuat dan sempurna.” Jaden menjelaskan panjang, sementara aku mencoba memahaminya.

Proses blooming berlangsung cepat , 25-30 detik, disusul dengan proses-proses berikutnya sampai kopi itu akhirnya diberikannya padaku, siap minum. Tak hanya itu, Jaden kembali menarik tanganku, kembali ke kursi tempat aku duduk tadi.
Kuhirup kopiku perlahan. Enak. Ada samar rasa asam di kopi cangkir ketigaku hari ini.
    “Livi, coffee blooming itu mirip dengan berseminya bunga, cinta.” Suara Jaden perlahan tapi cukup kuat untuk membuat kepalaku terangkat dari cangkir kopi dan menatap tajam padanya.
    “Hah! Maksud… maksudnya???” Aku terkejut. Tanpa sadar, genggamanku pada cangkir itu menjadi lebih erat.

Wajah Jaden kelihatan tenang saja. Hati-hati ia menjawab, ”Masih ingat kan coffee blooming tadi? Air dan kopi -kamu dan seseorang- kalian bersama pada saat fase ekstraksi. Blooming akan mengeluarkan gas karbondioksida, yang menahan air melarutkan kopi. Demikian pula tahap di mana kamu dan dia akan diproses. Blooming yang benar akan menghasilkan rasa kopi yang kuat dan sempurna. Tapi jika proses blooming gagal, bisa karena temperatur atau pengaturan waktu yang salah misalnya, maka kopi yang dihasilkan juga rusak rasanya. Kalian pun akan begitu. Jika blooming kalian presisinya sempurna, maka pada akhirnya dapat menghasilkan sinergi baik dan tepat. Kalian akan tetap bersama.”
    Jaden terbahak melihat aku semakin melongo. Beberapa kali mataku sampai mengerjap.
    “Sudah, nggak usah bego gitu. Minum saja kopimu, keburu dingin mana enak. Pikirin baik-baik aja soal blooming tadi, termasuk kalau seseorang itu tadi adalah aku.” Jaden mengerlingkan matanya padaku, sedangkan tubuhku berasa kaku sekali.
    “Aku serius, Vi.” Suaranya menekan meski hanya berbisik, dekat sekali dengan telingaku. Lalu Jaden kabur meninggalkanku yang masih berada di alam sadar dan tidak. Hanya ada suara deguban jantungku yang seperti genderang perang!

* Tumbu entuk tutup (pepatah Jawa) artinya: pas, cocok atau tepat.
** Puisi karya Kahlil Gibran

Cerpen oleh: Widyawati Puspita Dewi
Ilustrasi: Pixabay

Previous
« Prev Post

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *